Pendidikan Bangsa Pengutang
PENDIDIKAN sejatinya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan pembelajaran agarpeserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. Konsep ini menekankanbagaimana manusia terdidik mampu
mencerdaskan dirinya dan orang lain. Untuk itu, tepat rasanya konstitusi
memberikan amanah kepada negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Sebab bangsa cerdas dapat bergerakmaju mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang bermanfaat untuk kehidupan sekitarnya.
Usaha mencerdaskan bangsa Indonesia ditempuh pemerintahmelalui berbagai
macam cara. Salah satunya adalah menyediakan akses pendidikan yang murah
dan berkualitas. Mengapa ini penting? Sebab pendidikan sebagai ruh
utama kemajuan suatu bangsa merupakan hak dasar yang wajib diberikan
negara kepadasetiap Warga Negara Indonesia(WNI). Apalagi konstitusi
memberikan jaminan negara wajib mencerdaskan rakyat dan memberikan
alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen. Itu artinya
pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan kebutuhan anggaran untuk
memenuhi hakrakyat khususnya sektor pendidikan.
Ironisnya, realitas lapangan kadang tak seindah nilai ideal yang
diajarkan konstitusi. Fakta membuktikan bagaimananegara tidak pernah
serius mengembangkan dan membangun sistem pendidikan nasional. Kalangan
pemerintah yang seharusnya memberikan hak dan melindungi kepentingan
masyarakat terlihat lebih sibuk melepaskantanggung jawabnya. Mereka yang
dipilih rakyat dalam momentum pemilihan umum danmenjalankan demokrasi
belum banyak berpihak kepada kesejahteraan rakyat.
Kita masih dapat melihat bagaimana masyarakat miskin gagal mengecap
pendidikan. Kesenjangan dalam dunia pendidikan masih terjadi
melaluimekanisme kastanisasi yang cenderung diskriminatif. Pemerintah
secara nyata belum menerapkan solusi mengakar mengatasi krisis dalam
dunia pendidikan Indonesia. Adanya kebijakan internasionalisasi
pendidikan misalnya, hanya menghasilkan konsep pendidikan mahal yang
gagal terjangkau masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Salah satu bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat adalah
keinginan mengembalikan ruh Badan Hukum Pendidikan (BHP).Pemerintah dan
DPR berusaha keras mengesahkan RancanganUndang-Undang Pendidikan Tinggi
(RUU PT). Sebuah formulasi baru untuk mengaturpengelolaan perguruan
tinggi yang kental kepentingan asing.
Meski berusaha menjamin keberpihakan kepada masyarakat Indonesia, secara
nyata RUU PT masih belum menjawab kebutuhan masyarakat. Bagaimana
tidak, kebiasaan berutang diajarkan kepada mahasiswa sejak awal masuk
kuliah. Kebijakan itu tercermin dalam aturan mengenai pemenuhan hak
mahasiswa. Dalam aturan itu, pemerintah mengeluarkan opsi aneh yaitu
adanya mekanisme pinjaman/utang tanpa bunga kepada mahasiswa yang
dibayarkan setelah lulus atau memperoleh pekerjaan. Mekanisme utang
membuat negara bagaikan rentenir yangmengisap uang rakyatnya. Mahasiswa
Indonesia diajarkan berhutang sejak dini, mengikutijejak negara yang
“rajin” membuat proposal untuk mendapatkan dana hibah negara donatur.
Selain persoalan pinjaman kepada mahasiswa, negara juga bersifat
diskriminatif mengenai pembiayaan pendidikan. RUU PT mengatur bagaimana
pembiayaan pendidikan hanya difokuskan kepada pemerintah pusat. Anggaran
pendidikan 20 persen dibebankan kepada APBN. Tapi ironisnya, pemerintah
daerah tidak diwajibkan mendukung pendanaan pendidikan tinggi dari
APBD. Sebaliknya, pemerintah menyerahkan mekanisme pembiayaan pendidikan
kepada mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orangtua mahasiswa,
atau pihak lain yang membiayainya. Artinya pemerintah setengah hati
membiayai pendidikan dan melanggar pasal 31 ayat 4 UUD1945 yang
mewajibkan negara membiayai pendidikan nasional. Kecilnya peran
pemerintah daerah juga menabrak UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 49ayat 1
yang menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan selain gaji pendidikan dan
biayapendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD.
Melemahnya peran strategis negara dalam pembiayaan pendidikan menandakan
kemalasan mengupayakan pendidikan murah dan berkualitas. Selama ini,
dana pendidikan lebih sibuk dihabiskan untuk dikorupsi berjamaah.
Fenomena “bancakan anggaran pendidikan” dapat terlihat jelas dari
lemahnya daya tawar Kemendikbud untuk mengatur dana pendidikan. Dana
pendidikan tidak terserap optimal karena harusdibagikan kepada banyak
kementerian dan lembaga pemerintahan. Kondisi diperparah minimnya
tekanan pemerintah pusat kepada pemda untuk mengalokasikan 20 persen
dana pendidikan dari anggaran APBD.
Melihat gejala tersebut, rakyat harus disadarkan dan melawan kebijakan
pendidikan agar tidak semakin liberal. Pemerintah dan DPR harus bersedia
menghapus pasal yang berujung komersialisasi dalam RUU PT. Jika mereka
bergeming, jangan salahkan jika masyarakat dan mahasiswa kembali
berjuang sebagai parlemen jalanan untuk merebut kembali haknyayang
terampas oleh negara. Sebab ranah pembiayaan pendidikan adalah otoritas
negara yang tidak boleh sepenuhnya dan seenaknya dilepaskan kepada
masyarakatIndonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar