Minggu, 22 April 2012

pendidikan bangsa

Pendidikan Bangsa Pengutang

PENDIDIKAN sejatinya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agarpeserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Konsep ini menekankanbagaimana manusia terdidik mampu mencerdaskan dirinya dan orang lain. Untuk itu, tepat rasanya konstitusi memberikan amanah kepada negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebab bangsa cerdas dapat bergerakmaju mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat untuk kehidupan sekitarnya. Usaha mencerdaskan bangsa Indonesia ditempuh pemerintahmelalui berbagai macam cara. Salah satunya adalah menyediakan akses pendidikan yang murah dan berkualitas. Mengapa ini penting? Sebab pendidikan sebagai ruh utama kemajuan suatu bangsa merupakan hak dasar yang wajib diberikan negara kepadasetiap Warga Negara Indonesia(WNI). Apalagi konstitusi memberikan jaminan negara wajib mencerdaskan rakyat dan memberikan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen. Itu artinya pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan kebutuhan anggaran untuk memenuhi hakrakyat khususnya sektor pendidikan. Ironisnya, realitas lapangan kadang tak seindah nilai ideal yang diajarkan konstitusi. Fakta membuktikan bagaimananegara tidak pernah serius mengembangkan dan membangun sistem pendidikan nasional. Kalangan pemerintah yang seharusnya memberikan hak dan melindungi kepentingan masyarakat terlihat lebih sibuk melepaskantanggung jawabnya. Mereka yang dipilih rakyat dalam momentum pemilihan umum danmenjalankan demokrasi belum banyak berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Kita masih dapat melihat bagaimana masyarakat miskin gagal mengecap pendidikan. Kesenjangan dalam dunia pendidikan masih terjadi melaluimekanisme kastanisasi yang cenderung diskriminatif. Pemerintah secara nyata belum menerapkan solusi mengakar mengatasi krisis dalam dunia pendidikan Indonesia. Adanya kebijakan internasionalisasi pendidikan misalnya, hanya menghasilkan konsep pendidikan mahal yang gagal terjangkau masyarakat kalangan menengah ke bawah. Salah satu bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat adalah keinginan mengembalikan ruh Badan Hukum Pendidikan (BHP).Pemerintah dan DPR berusaha keras mengesahkan RancanganUndang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Sebuah formulasi baru untuk mengaturpengelolaan perguruan tinggi yang kental kepentingan asing. Meski berusaha menjamin keberpihakan kepada masyarakat Indonesia, secara nyata RUU PT masih belum menjawab kebutuhan masyarakat. Bagaimana tidak, kebiasaan berutang diajarkan kepada mahasiswa sejak awal masuk kuliah. Kebijakan itu tercermin dalam aturan mengenai pemenuhan hak mahasiswa. Dalam aturan itu, pemerintah mengeluarkan opsi aneh yaitu adanya mekanisme pinjaman/utang tanpa bunga kepada mahasiswa yang dibayarkan setelah lulus atau memperoleh pekerjaan. Mekanisme utang membuat negara bagaikan rentenir yangmengisap uang rakyatnya. Mahasiswa Indonesia diajarkan berhutang sejak dini, mengikutijejak negara yang “rajin” membuat proposal untuk mendapatkan dana hibah negara donatur. Selain persoalan pinjaman kepada mahasiswa, negara juga bersifat diskriminatif mengenai pembiayaan pendidikan. RUU PT mengatur bagaimana pembiayaan pendidikan hanya difokuskan kepada pemerintah pusat. Anggaran pendidikan 20 persen dibebankan kepada APBN. Tapi ironisnya, pemerintah daerah tidak diwajibkan mendukung pendanaan pendidikan tinggi dari APBD. Sebaliknya, pemerintah menyerahkan mekanisme pembiayaan pendidikan kepada mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orangtua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Artinya pemerintah setengah hati membiayai pendidikan dan melanggar pasal 31 ayat 4 UUD1945 yang mewajibkan negara membiayai pendidikan nasional. Kecilnya peran pemerintah daerah juga menabrak UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 49ayat 1 yang menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan selain gaji pendidikan dan biayapendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBD. Melemahnya peran strategis negara dalam pembiayaan pendidikan menandakan kemalasan mengupayakan pendidikan murah dan berkualitas. Selama ini, dana pendidikan lebih sibuk dihabiskan untuk dikorupsi berjamaah. Fenomena “bancakan anggaran pendidikan” dapat terlihat jelas dari lemahnya daya tawar Kemendikbud untuk mengatur dana pendidikan. Dana pendidikan tidak terserap optimal karena harusdibagikan kepada banyak kementerian dan lembaga pemerintahan. Kondisi diperparah minimnya tekanan pemerintah pusat kepada pemda untuk mengalokasikan 20 persen dana pendidikan dari anggaran APBD. Melihat gejala tersebut, rakyat harus disadarkan dan melawan kebijakan pendidikan agar tidak semakin liberal. Pemerintah dan DPR harus bersedia menghapus pasal yang berujung komersialisasi dalam RUU PT. Jika mereka bergeming, jangan salahkan jika masyarakat dan mahasiswa kembali berjuang sebagai parlemen jalanan untuk merebut kembali haknyayang terampas oleh negara. Sebab ranah pembiayaan pendidikan adalah otoritas negara yang tidak boleh sepenuhnya dan seenaknya dilepaskan kepada masyarakatIndonesia.


Peran Wanita dalam Kebangkitan Bangsa


SEBUAH hadis menyatakan, “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa mulianya Islam dalam memandang seorang wanita yang diibaratkan sebagai perhiasan dunia paling baik. Namun, ternyata realitanya justru bertentangan dengan hal itu. Wanita saat ini telah mengalami keterpurukan. Kasus-kasus pelecehan seksual, trafficking , penyiksaan, kerap dialami oleh wanita. Tidak hanya itu, sistem kapitalisme dengan kondisi ekonomi yang mencekik saat ini, juga memaksa wanita untuk membanting tulang. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang sangat luas untuk wanita. Tentu, dengan syarat berpenampilan menarik.Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka modal tenaga dan tekad pun jadi. Alhasil, banyak wanita yang berduyun-duyun mendaftarkandiri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Pahlawan devisa, begitulah pemerintah menyebutnya. Dengan bangga dan tanpa rasa berdosa, hampir setiap tahun pemerintah memberangkatkan ratusan bahkan ribuan wanita untuk menjadi budak di negeri orang (baca: TKW). Para wanita yang menjadi TKW tersebut tentunya bukanlah atas dasar sukarela. Namun, mereka bekerja karena himpitan ekonomi keluarga. Kondisi inilahyang akhirnya memaksa wanita untuk turut melakukanpekerjaan berat, demi mendapatkan penghasilan (uang) untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Walaupun taruhan yang harus mereka bayar tidak sedikit pula, siksaan dari majikan, pelecehanseksual, bahkan tak sedikit dari mereka yang harus kehilangan nyawa. Semua itu rela mereka lakukan demi uang. Di tengah permasalahan wanitayang sedang terjadi, kaum feminis berlomba-lomba menjadimalaikat penyelamat bagi wanita. Segudang tawaran solusi pun diberikan. Salah satunya adalah ide persamaan gender yang dibungkus rapi dalam wadah bernama emansipasi. Memandang wanitasama atau bahkan lebih tinggi daripada laki-laki. Jika selama ini laki-laki yang bekerja, makatidak menutup kemungkinan wanita juga bisa melakukannya. Wanita tidak boleh terus menerus tunduk dibawah laki-laki (suami), tetapi wanita harus bisa lebih dari laki-laki. Kaum feminis telah menghembuskan hawa persaingan di antara wanita dan laki-laki. Namun, solusi ini ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah, dan justru menimbulkan masalah baru. Ketika wanita dituntut untuk berada di luar rumah dan disibukkan dengan pekerjaan, maka tidak jarang dari kaum wanita tersebut yang akhirnyamengorbankan keluarga dan anak-anaknya. Banyak rumah tangga yang berujung pada perceraian dikarenakan wanita(istri) yang tidak mengurusi rumah tangganya dengan baik.Padahal, tugas utama wanita sebagai istri sejatinya adalah menjadi ibu sekaligus pengaturrumah tangga ( ummu wa rabbatul bait ). Sedangkan bekerja bagi seorang wanita bukanlah menjadi kewajiban, melainkan suatu kebolehan ( mubah ). Islam membagi peran wanita menjadi dua, yaitu peran domestik dan publik. Dalam ranah domestik (keluarga), wanita memiliki peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, pencetak generasi bangsa. Sedangkan dalam ranah publik, wanita memiliki peran sebagai anggota masyarakat, yang diharapkan mampu membangkitkan bangsa.Kedua peran ini hanya bisa terlaksana dengan sempurna, jika diikuti dengan adanya sistem negara yang mendukung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar